Menakar Pilpres 2024: Mungkinkah Sipil-Militer ?

0
157

Jakarta|| Pialing.Com – Waktu berjalan cepat dan tajam, gaung politik secara nasional kian menggema dari pusat sampai kepedesaan ditanah air kita tercinta ini, hak bicara lisan dan tertulis didepan publik dalam menyampaikan pendapat kian terbuka dan demokratis, kendati pendapat itu, pada level bawah (akar rumput), non akedemisi, dari tempat yang tidak elite, warung-dan kedai-kedai Kopi di setiap daerah. Pendapat harus kita hargai sebagai hak warga, dalam berbangsa dan bernegara.

Mereka (masyarakat) mengingingkan calon pemimpin Indonesia kedepan Capres dan Cawapres menuju pasca Pilpres 2024 dari sosok tokoh yang mereka harapkan, ‘’sipil-militer dan atau militer sipil’’ kata Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Kibar – Nasional M.J Anton Hilman, kepada redaksi media ini. Dan diperkuat dengan data-data Prees Realese yang dikirimkan Via WhatSAPP (WA).

Menurut Anton, sebagai aktivis perkembangan ini disimak sudah lama, kita menarik garis maunya masyarakat sangat cenderung pemimpin Indonesia kedepan mengawinkan, tokoh (sosok) pemimpin dari kalangan ‘’sipil-militer dan atau militer-sipil’’ dengan tidak bermaksud mengabaikan sosok tokoh lainnya, ‘’sipil-sipil atau ulama?’’ paparnya.

Menurut Anton, kita perlu melihat kebelakang sejak zamannya kepemimpinan Bungkarno Presiden RI pertama, paduannya saat itu, ‘’sipil-sipil’’ dan berikut Presiden RI kedua Jenderal Soeharto, ‘’militer-militer / militer sipil’’ dan Presiden RI ketiga H. BJ Habibie, (Sipil) naik setelah lengsernya Soeharto, 1998 dan berakhirnya era orde baru (orba) saat itu.

Lalu Presiden RI ke empat Abdurahman Wahid (Gusdur), ‘’sipil-sipil’’ dan Presiden RI ke lima Megawati Soekarno Putri, ‘’sipil-sipil’’

Enam Susilo Bambang Yuhdoyono, ‘’militer-sipil/ militer-sipil’’

Presiden ke tujuh RI, Joko Widodo, ‘’sipil-sipil & sipil-Ulama. Dan belum ada dalam sejarah kita ‘’Sipil-Militer’’ jelas Anton.

Harapan masyarakat lebih cenderung menginginkan calon presiden 2024 gabungan unsur militer dan sipil. Yang paling menarik temuannya adalah keinginan masyarakat terhadap pemimpin yang ada unsur militernya. Harapan itu, tetap menjaga, tumbuh kembangnya demokrasi, yang sehat, dinamis, terciptanya rasa keadilan ditengah masyarakat kita yang majemuk, harap Anton.

Dengan demikian, tidak otomatis politik pencitraan bisa menyumbang naiknya tingkat keterpilihan. Tegas Anton menulis hasil penilaiannya mengenai kontestasi Pilpres 2024.

Yang kedua adalah sipil. Dan didukung juga saat ini oleh Riset Komunitas Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi ’98 (Komrad 98), Andika Perkasa didambakan sebagai Pemimpin Masa Depan, peluang basis militer untuk maju berpasangan Sipil dan Militer, (Sipil-Militer) saat ini pantas dan ideal untuk tahun 2024.

Sentimen Publik atas Kondisi Ekonomi dan Politik Badai Wabah COVID-19 habis menghantam kita sebagai negara-bangsa.

Namun demikian, warga pada umumnya masih positif dalam menilai arah perjalanan bangsa dan merasa optimistis dengan kondisi ekonomi lima tahun kedepan.

Maka kekuatan gabungan sipil-militer, mampu memajukan pembangunan disegala sektor, terutama Ekonomi, Militer (kekuatan pertahanan) antar Negara (international), jelasnya. Kita harus waspada, jika AS dan Australia Cs membangun Kapal Selam bertenaga Nuklir, tidak tertutup kemungkinan akan bisa ancaman/ membahayakan, Negara kita dan asean.

Maka pucuk pimpinan Indonesia kedepan, diharapkan dari perkawinan Sipil-Militer. Dengan membangun kekuatan ekonomi dan militer. Kita harus membaca dan mewaspadai akan adanya ancaman ekonomi dan Nuklir dari luar.

Dan kebangkitan ekonomi Indonesia membutuhkan dukungan stabilitas politik yang cukup. Data-data politik tahun 2022 menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia cukup liat dan lentur untuk beradaptasi dengan situasi, pasca setelah reshuffle kabinet tanggal 15 juni 2022.

Tantangannya adalah sejauhmana partai-partai politik di dalam koalisi bisa turut memperkuat iklim politik supaya lebih kondusif.

Sejumlah kebijakan dan terobosan di sektor ekonomi, seperti Pemulihan Stabilitas Harga Bahan pokok dan UU Cipta Kerja, membutuhkan prasyarat stabilitas politik yang kuat. Di sini peran partai politik menjadi semakin sentral.

Dari sisi kinerja pemerintah sekarang tren tingkat kepuasan publik sangat menurun drastis, masyarakat sekarang merasa kurang puas dengan kinerja pemerintah namun masyarakat masih percaya pemerintah akan mampu membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi akibat badai COVID-19.

Ini modal politik yang penting bagi pemerintah dalam menjalankan tugasnya ke depan. Publik umumnya masih menaruh harapan yang besar kepada pemerintah untuk dapat mengatasi masalah ekonomi yang sangat berat saat ini.

Peta kekuatan partai politik dan sentimen publik terhadap prospek kepemimpinan nasional diperkirakan masih akan terus berubah. Perubahan sikap dan kecederungan perilaku pemilih masih sangat mungkin terjadi mengingat pemilu mendatang sudah dekat (2024).

Pemilihan presiden (Pilpres) mendatang masih sekitar 2,5 tahun lagi. Namun sejauh ini sudah ada sejumlah nama tokoh yang disebut-sebut oleh pemilih sebagai calon presiden (capres). Sementara itu menurut UUD, hanya partai politik yang dapat mengajukan calon presiden.

Maka partai politik yang menentukan siapa tokoh yang akan maju dalam pilpres mendatang. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut selama ini ada sejumlah studi yang menunjukan bahwa kualitas calon presiden lebih penting dari pada ikatan dengan partai politik dalam menentukan pilihan atas calon presiden maupun atas partai politik.

Tapi ada juga indikasi bahwa pemilih partai akan tetap memilih calon presiden yang dicalonkan partainya meskipun calon presiden tersebut dinilai buruk kualitasnya dan karena itu tak diinginkan untuk menjadi presiden.

Ini karena party identification yang sangat kuat. Satu fenomena yang lumrah kita temui saat ini adalah bertebarannya media luar ruang, seperti baliho, videotron, billboard di banyak sekali area publik.

Tak hanya menjadi pemandangan di Jakarta, kini menjangkau hampir seluruh nusantara.

Jelang 2024, jika serius untuk masuk ke gelanggang pertarungan. Ada empat tahap yang akan di lalui Pertama, tahap pemunculan yakni momentum yang mengharuskan nama mereka dibicarakan, dikenal dalam orientasi khalayak, serta masuk dalam rekognisi media sebagai orang yang berpotensi di pemilu mendatang.

Dalam konteks inilah mengapa intensitas publikasi dan publisitas politik sejumlah nama meningkat. Kedua, tahap legitimasi. Yakni tahapan dimana nama-nama calon mendapat peneguhan dari survei sejumlah lembaga dengan hasil bagus,terutama terhubung dengan tingkat akan keterpilihan mereka.

Selain itu, juga sudah mulai mendapatkan “tiket” dalam kandidasi internal partai mereka. Ketiga, tahap nominasi yakni terhubung dengan resminya si kandidat menjadi calon presiden atau pun calon wakil presiden.

Tak hanya berdasarkan dukungan internal partainya, melainkan di tahap ini juga terkait dengan mitra koalisi dari partai lainnya. Keempat, tahap pemilihan yang melibatkan proses panjang mulai dari penetapan pasangan resmi, masa kampanye, hari pemilihan dan pascapemilihan.

Dengan demikian, melihat alur menuju tahap pemilihan yang panjang, terlebih di 2024 tak ada petahana, maka semua orang yang merasa memiliki peluang maju akan “memanaskan” diri dan partai melalui serangkaian kerja-kerja politik dan komunikasi politik.

Politik pencitraan pun sudah pasti dilakukan, terutama yang bisa menguatkan personal branding mereka sebagai sosok yang layak dipertimbangkan.

Meskipun politik pencitraan itu hal yang lumrah dilakukan, namun karena posisi jabatan yang melekat pada diri mereka, maka perlu memerhatikan aspek etika politik. Jika dibuat tipologi, pejabat publik yang melakukan publisitas politik itu bisa kita bedakan menjadi dua.

Pertama, campaigning maker artinya pejabat ini sedang menyiapkan diri memengaruhi pemilih untuk jabatan tertentu di kemudian hari. Meski bungkusnya publisitas, tetapi targetnya sama dengan kampanye yakni positioning, branding, segmenting.

Menanamkan kesan di benak para pemilih, memalingkan perhatian khalayak, mengidentifikasi kelompok-kelompok potensial.

Di tipe ini, ada Prabowo subianto, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Erick Thohir, Sandiaga Uno, Andika Perkasa dan lain-lainya.

Hal lain yang terhubung dengan etika politik adalah menyangkut proporsi antara politik pencitraan dengan kerja nyata dia dalam penangulangan Covid-19.

Jangan sampai pencitraan lebih dominan dibanding dedikasi kerja untuk rakyat. Masifnya informasi dan perbincangan tentang diri mereka belum tentu berkorelasi positif dengan citra dan reputasi positif mereka di mata rakyat.

Kita berharap partai politik, mencalonkan bakal Balon Presiden dan Balon Wakil Presiden dari sosok tokoh diluar partainya, yang diharapkan masyarakat Indonesia, baik sipil maupun unsur militer, (purnawirawan) TNI/Polri, harap Anton.

(***)

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here